PEMAHAMAN RAS, ETNISITAS DAN MULTIKULTURALISME

Oleh : Rudiansyah

Pengertian Ras, Etnisitas dan Multikulturalisme

  1. Pengertian Ras

Ras adalah suatu sistem klasifikasi yang digunakan untuk mengkategorikan manusia dalam populasi atau kelompok besar dan berbeda berdasarkan ciri fenotipe, asal usul geografis, jasmani dan kesukuan yang terwarisi. Dengan kata lain, ras juga termasuk dalam suatu golongan penduduk pada suatu daerah yang mempunyai sifat keturunan berbeda dengan penduduk daerah lain. Salah satu penyebab masalah sosial mengenai ras adalah adanya prasangka ras yang merupakan salah satu aspek etnosentrisme. Etnosentrisme adalah suatu sifat manusia yang menganggap bahwa cara hidup golongannya paling baik, sedangkan cara hidup golongan lain dianggap tidak baik dan kadang disertai dengan perasan menentang golongan lain. Fungsi etnosentrisme adalah adanya persamaan sangat kuat yang mengikat seseorang dengan golongannya sehingga menimbulkan solidaritas suatu kelompok.

Menurut Koentjaningrat, Ras adalah suatu golongan manusia yang menunjukkan berbagai ciri tubuh tertentu dengan suatu frekuensi yang besar atau bersifat jasmani.

Menurut A.L. Krober, Ras dapat dibedakan sebagai berikut :

  • Ras Mongoloid (Berkulit Kuning)
  • Ras Negroid (Berkulit Hitam)
  • Ras Kaukasoid (Berkulit Putih)
  • Ras Khusus yang tidak dapat diklasifikasikan, ras ini antara lain :

Bushman, Veddoid, Australoid, Polynesian, Ainu.

Dewasa ini terdapat beberapa pandangan teoritis yang mendukung studi mengenai ras dan konflik ras masa kini. Beberapa diantaranya adalah teori pilihan rasional yang bersifat individualistik dan menerapkan suatu sistem untung-rugi untuk menjelaskan kecenderungan ras dan dinamika pembentukan kelompok ras. Selain itu, perspektif umum lainnya memusatkan kepada stratifikasi ras yang menekankan komponen ekonomis sebagai dasar diskriminasi ras. Teori neo-konservatif memusatkan perhatian kepada ciri budaya yang tidak secara merata terbagi kepada beberapa kelompok ras. Dari argumen di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada teori yang memberikan paradigma yang mendalam dan dapat diterima secara luas untuk menjelaskan kerumitan pembentukan kelompok etnis atau bertahannya konflik ras di dunia masa kini.

  1. Pengertian Etnisitas

Etnisitas adalah suatu penggolongan dasar dari suatu organisasi sosial yang keanggotaannya didasarkan pada kesamaan asal, sejarah, budaya, agama dan bahasa serta tetap mempertahankan identitas jati diri mereka melalui cara dan tradisi khas yang tetap terjaga, misalnya etnis Cina, etnis Arab, dan etnis Tamil-India. Istilah etnisitas juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnis Bugis, etnis Minang, etnis Dairi-Pakpak, etnis Dani, etnis Sasak, dan etnis lainnya. Istilah suku mulai ditinggalkan karena berasosiasi dengan keprimitifan, sedangkan istilah etnis dirasa lebih netral. Dalam ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnisitas berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya.

Menurut Max Weber, Etnisitas adalah suatu kelompok manusia yang menghormati pandangan serta memegang kepercayaan bahwa asal yang sama menjadi alasan untuk penciptaan suatu komunitas tersendiri.

Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnisitas merujuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budaya. Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang :

  • Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok.
  • Mempunyai nila-nilai budaya dan sadar akan rasa kebersamaannya.
  • Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi.
  • Menentukan ciri kelompok sendiri yang dapat diterima oleh kelompok lain.
  1. Pengertian Multikulturalisme

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial yang sama di dalam masyarakat. Dengan demikian, setiap individu merasa di hargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Dalam pengertian tradisional tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama yaitu kebutuhan terhadap pengakuan (The need of recognition) serta legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya.

Menurut S. Saptaatmaja, Multikulturalisme adalah Suatu tujuan untuk bekerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kompleks dan tidak monokultur. Dari pengertian ini dapat disimpulkan agar seseorang dapat melihat perbedaan dan usaha untuk bekerja secara positif dengan yang berbeda dan terus mewaspadai segala bentuk sikap yang bisa mereduksi multikulturalisme itu sendiri.

Sejarah Multikulturalisme

Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa inggris (English Speaking Countries), yaitu di negara Canada pada tahun 1079-an. Kebijakan inikemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan negara lainnya.

Jenis – Jenis Multikulturalisme

Menurut Parekh, Multikulturalisme dapat dibedakan menjadi 5 macam, yaitu :

  • Multikulturalisme Isolasionis
  • Multikulturalisme Akomodatif
  • Multikulturalisme Otonomis
  • Multikulturalisme Kritikal/Interaktif
  • Multikulturalisme Kosmopolitan

Topik Pembahasan

  1. Istilah Penyebutan Orang Tionghoa di Indonesia

Istilah penyebutan Tionghoa mengacu kepada orang Tionghoa secara umum atau warga keturunan Tionghoa secara khusus, tetapi dari pandangan orang Eropa mengaitkannya dengan satu dinasti yang pernah memerintah di Tiongkok pada tahun 225-206 SM, yaitu Dinasti Qin. Sebenarnya orang Tionghoa yang ada di Indonesia sekarang adalah keturunan dari orang Han, yaitu kelompok mayoritas yang membentuk 94% dari total penduduk PRC, yang secara linguistik terpecah lagi kedalam berbagai suku-bangsa, antara lain yang terkenal di Indonesia adalah Kanton, Teochiu, Hoklo, Hinhua, Hokcia, Hainan, Hakka dan Hokkian. Sebagai ahli bahasa di Indonesia, misalnya Mely G. Tan, menyebut orang Tionghoa Indonesia ini dengan nama golongan etnis Tionghoa, selain itu George Yunus Aditjondro menyebutnya dengan istilah masyarakat Tionghoa atau tenglang dan juga Slamet Martosudiro menyebut Tionghoa perantauan atau Hoakiao yang secara umum disebut non pribumi, etnis Tionghoa.

  1. Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia

Diskriminasi pada etnis Tionghoa di Indonesia sudah dimulai semenjak masa kolonial Belanda. Pada tahun 1740 dibawah perintah Gubernur Jendral Valckenier terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap etnis Tionghoa di Batavia. Pembantaian yang dilakukan belanda secara besar-besaran terhadap orang Tionghoa dimaksudkan agar kalangan bisnis etnis Tionghoa tunduk terhadap Belanda. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak berhenti hanya pada masa kolonial Belanda, namun terus berlanjut hingga Orde Lama dan Orde Baru.

Diskriminasi Rasial Masa Orde Lama

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada era 1959-1960 adalah masa dimana etnis Tionghoa terdiskriminasi dalam wajah yang sangat rasialis. Pengejaran terhadap orang Tionghoa ketika itu merupakan bagian dari pelaksanaan serta pengembangan politik anti Tionghoa pada tahun 1956. Sebagai akibat dari PP No. 10/1959, selama tahun 1960-1962 tercatat lebih dari 100.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia dan seara tipikal mereka mengalami banyak kesengsaraan. Disisi lain, bangkitnya semangat nasionalisme yang cenderung mengacu pada sentimen primordial adalah faktor lain yang menunjukkan betapa suramnya rasialisme di wajah Negara Republik Indonesia.

Diskriminasi Rasial Masa Orde Baru

Jtuhnya rezim Orde Lama tidak serta merta membawa angin segar terhadap hilangnya diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Diskriminasi terhadap orang Tionghoa ditempuh pemerintahan Orde Baru dilakukan dengan cara, diantaranya :

  • Mengeluarkan kebijakan penandaan khusus pada Kartu Tanda Penduduk
  • Larangan bagi masyarakat Tionghoa menjadi pegawai negeri serta TNI
  • Larangan bagi masyarakat Tionghoa untuk memiliki tanah dan bangunan

Kebijakan tersebut secara otomatis merenggut hak asasi mereka sebagai warga negara Indonesia dan sebagai manusia.

  1. Masyarakat Tionghoa di Tengah Asimilasi dan Multikulturalisme Budaya Indonesia

Bangsa Tionghoa terlebih dahulu sudah melakukan kontak dengan bangsa Indonesia jauh sebelum Indonesia jatuh ke tangan penjajahan Belanda. Walaupun tidak sekala besar, pandangan antara bangsa China dan Indonesia berlangsung lancar dan tanpa hambatan yang berarti. Dengan sistem Devide et Impera, bangsa Belanda berhasil menanamkan rasa perpecahan diantara etnis Tionghoa dan penduduk Indonesia. Adanya campur tangan negara China atas rakyatnya di Indonesia mempersulit asimilasi etnis Tionghoa. Kondisi ekonomi Indonesia yang mayoritas dikuasai oleh etnis Tionghoa semakin memperkeruh situasi. Walaupun etnis Tionghoa hanya sekitar 3% dari keseluruhan bangsa Indonesia, mereka diyakini memiliki kehidupan ekonomi lebih baik atau diatas rata-rata masyarakat asli Indonesia.

Dengan berbagai macam undang-undang dan peraturan yang terkesan mempercepat laju asimilasi yang sebenarnya memiliki suatu tujuan untuk menghilangkan identitas etnis Tionghoa, dari mulai pergantian nama Indonesia sampai penutupan sekolah berbahasa mandarin di Indonesia. Hal ini sebenarnya bertolak belakang dengan falsafah bangsa Indonesia, yang mana falsafah tersebut menekankan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Daftar Sumber

Abdurrahmat, H. Fathoni. 2006. Antropologi Sosial Budaya. Jakarta: Rhineka Cipta.

Cf. Zhu Guangqian, Wenyi Xinlixue. 1936. Psychology of Literature and Art. Shanghai: Kaiming Shudian.

Edward Burned Taylor. 1969. Primitive Culture. Inggris: Fried Press.

Handinoto. 1999. Lingkungan Pecinan dalam Tata Ruang Kota di Jawa Pada Masa Kolonial, Jakarta: Jurnal Dimensi Arsitektur.

Leave a comment